Pages

Rabu, 30 Mei 2012

Hukum Ekonomi Islam


Dasar Hukum Ekonomi Islam
 
Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ilmu pengetahuan yang menyoroti masalah perekonomian, sama seperti konsep ekonomi konvensional lainnya. Hanya, dalam sistem ekonomi ini, nilai-nilai islam menjadi landasan dan dasar dalam setiap aktivitasnya.

Dari pemahaman ekonomi islam ini, menunjukan bahwa sistem ekonomi ini bukan hanya ditunjukan bagi umat islam saja. Sebab, semua umat manusia bisa dan berhak untuk menggunakan konsep yang ada dalam sistem ekonomi berbasis ajaran islam tersebut.

Jika diurai, ekonomi islam ini berasal dari ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an. Para ahli ekonomi islamlah yang kemudian menerjemahkan dan menciptakan aplikasinya bagi kehidupan masyarakat. Beberapa tokoh ekonomi islam di antaranya adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf adalah seorang tokoh ekonomi di bidang keuangan umum dengan menghasilkan gagasan entang peranan negara. pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang masih berlaku hingga sekarang.

Tokoh ekonomi islam lainnya adalah Ibnu Taimiya yang memaparkan tentang konsep harga ekuivalen. Tusi, mengembangkan gagasan tentang pentingnya nilai pertukaran, pembagian kerja dan kesejahteraan rakyat. Dan yang paling terkenal, Ibnu Khaldun yang ditasbihkan sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan Sosial dunia, memberikan definisi tentang ilmu ekonomi yang lebih luas

Dasar Hukum Ekonomi Islam

Sebuah ilmu tentu memiliki landasan hukum agar bisa dinyatakan sebagai sebuah bagian dari konsep pengetahuan, demikian pula dengan ekonomi islam. Ada beberapa dasar hukum yang menjadi landasan pemikiran dan penentuan konsep ekonomi islam.

Beberapa dasar hukum Islam tersebut diantaranya adalah:
  1. Al Qur'an. Ini merupakan dasar hukum utama konsep ekonomi islam, karena Al Qur'an merupakan ilmu pengetahuan yang berasal langsung dari Allah. Beberapa ayat dalam Al Qur'an merujuk pada perintah manusia untuk mengembangkan sistem ekonomi yang bersumber pada hukum islam. Diantaranya terdapat pada QS. Fuskilat:42, QS. Az Zumar:27, QS. Al Hasy:22
  2. Hadist dan Sunnah. pengertian hadist dan sunnah adalah sebuah perilaku Nabi yang tidak diwajibkan dilakukan manusia, namun apabila mengerjakan apa yang dilakukan Nabi Muhammad maka manusia akan mendapatkan pahala. Keduanya dijadikan dasar hukum ekonomi islam mengingat Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pedagang yang sangat layak untuk dijadikan panutan pelaku ekonomi modern.
  3. Ijma', yaitu sebuah prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat adanya perkembangan jaman. Ijma' adalah konsensus baik dari masyarakat maupun cendikiawan agama, dengan berdasar pada Al Qur'an sebagai sumber hukum utama.
  4. Ijtihad atau Qiyas. Merupakan sebuah aktivitas dari para ahli agama untuk memecahkan masalah yang muncul di masyarakat, dimana masalah tersebut tidak tersebut secara rinci dalam hukum islam. Dengan merujuk beberapa ketentuan yang ada, maka Ijtihad berperan untuk membuat sebuah hukum yang bersifat aplikatif, dengan dasar Al Qur'an dan Hadist sebagai sumber hukum yang bersifat normatif.

Prinsip Ekonomi Islam

Dalam Hukum Ekonomi Islam, sebagai aturan yang ditetapkan syara’, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila sebuah interaksi antar sesama manusia yang berkaitan dengan harta dan kepemilikan akan dilakukan. Prinsip-prinsip ini mesti dijadikan sebagai ugeran (aturan) dalam melakukan aktivitas ekonomi.

Berdasar pada beberapa pendapat para fuqaha ketika mendeskripsikan fiqih al-mu’amalah (baca: Hukum Ekonomi Islam), maka setidaknya ditemukan empat prinsip, yaitu: 1. pada asalnya aktivitas ekonomi itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya, 2. aktivitas ekonomi itu hendaknya dilakukan dengan suka sama suka (’an taradlin), 3. kegiatan ekonomi yang dilakukan hendaknya mendatangkan maslahat dan menolak madharat (jalb  al-mashalih wa dar’u al-mafasid), dan 4. dalam aktivitas ekonomi itu terlepas dari unsur gharar, kedzaliman, dan unsur lain yang diharapkan berdasarkan syara’.

Dalam prinsip pertama mengandung arti, hukum dari semua aktivitas ekonomi pada awalnya diperbolehkan. Kebolehan itu berlangsung selama tidak atau belum ditemukan nash – Al-Qur’an dan Al-Hadits – yang menyatakan keharamannya. Ketika ditemukan sebuah nash yang menyatakan haram, maka pada saat itu pula akad mu’amalah tersebut menjadi terlarang berdasarkan syara’. Prinsip Hukum Ekonomi Islam ini sebenarnya mengacu pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an secara substansi berbicara tentang masalah ini terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 29, “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” Sedangkan Al-Hadits yang berkaitan dengan prinsip ini adalah hadits yang diterima Salman Al-Farisi yang diriwayatkan Turmudzi dan Ibn Majah, Rasulullah Saw bersabda, “Apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa yang diharamkan Allah adalah haram dan apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatu pun.” (HR. Al-Bazar dan Al-Thabrani)

Prinsip Hukum Ekonomi Islam yang kedua adalah mu’amalah, hendaknya dilakukan dengan cara suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun. Bila ada dalam sebuah aktivitas ekonomi ditemukan unsur paksaan (ikrah), maka aktivitas ekonomi itu menjadi batal berdasarkan syara’. Prinsip mu’amalah ini didasarkan pada nash yang tertuang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” Prinsip inipun didasarkan pada hadits Nabi Saw yang menyatakan, “Bahwasannya jual-beli hendaknya dilakukan dengan suka sama suka.”

Sedangkan prinsip yang ketiga adalah mendatangkan maslahat dan menolak madharat bagi kehidupan manusia. Prinsip ini mengandung arti, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya memperhatikan aspek kemaslahatan dan kemadharatan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi yang dilakukan itu hendaknya merealisasi tujuan-tujuan syari’at Islam (maqashid al-syari’ah), yakni mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Bila ternyata aktivitas ekonomi itu dapat mendatangkan maslahat bagi kehidupan manusia, maka pada saat itu hukumnya boleh dilanjutkan dan, bahkan, harus dilaksanakan. Namun bila sebaliknya, mendatangkan madharat, maka pada saat itu pula harus dihentikan.

Prinsip ketiga itu secara umum didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” Rahmat dalam ayat ini bisa diartikan dengan menarik manfaat dan menolak madharat (jalb al-manfa’ah wa daf al-madharah). Makna ini secara substansial seiring dengan yang ditunjukkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185, yang menyatakan, Allah tidak menghendaki adanya kesempitan dan kesulitan (musyaqah) dan surat An-Nisa’ ayat 28, “Allah menghendaki supaya meringankan bagimu, karena manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”

Sedangkan prinsip terakhir, aktivitas ekonomi harus terhindar dari unsur gharar, dzhulm, riba’ dan unsur lain yang diharamkan berdasarkan syara’. Syariat Islam membolehkan setiap aktivitas ekonomi di antara sesama manusia yang dilakukan atas dasar menegakkan kebenaran (haq), keadilan, menegakkan kemaslahatan manusia pada ketentuan yang dibolehkan Allah Swt. Sehubungan dengan itu, Syariat Islam mengharamkan setiap aktivitas ekonomi yang bercampur dengan kedzaliman, penipuan, muslihat, ketidakjelasan, dan hal-hal lain yang diharamkan dan dilarang Allah Swt.

Gharar artinya tipuan, yang diduga dapat meniadakan kerelaan dan juga merupakan bagian dari memakan harta manusia dengan cara yang bathil. Jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung unsur ketidaktahuan (jahalah) yang dapat membawa pada perselisihan, serta menyebabkan kemadharatan dan meniadakan kemaslahatan manusia.

Sedangkan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur zhulm (kedzaliman) adalah aktivitas ekonomi yang bila dilakukan dapat merugikan pihak lain, seperti menumpuk-numpuk harta (ihtikar) yang dapat mengganggu mekanisme pasar, jual-beli yang mengandung unsur spekulasi seperti jual-beli munabadzah (jual-beli dengan cara saling melempar).

Adapun riba’ adalah satu tambahan atas pokok harta dalam urusan pinjam-meminjam. Terdapat beberapa sebab, mengapa riba’ diharamkan. Pertama, karena Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Saw dalam Al-Hadits jelas-jelas menyatakan, riba’ diharamkan. Kedua, karena esensi riba’ adalah perilaku orang untuk mengambil harta milik orang lain dengan tidak seimbang. Ketiga, bisa menyebabkan orang malas untuk berusaha, karena selalu mengharapkan keuntungan dengan tanpa usaha yang riil. Keempat, karena dengan adanya riba’ bisa menyebabkan hilangnya berbuat baik terhadap sesame manusia.

Dari uraian tersebut dapat dipahami, aktivitas ekonomi baru dianggap shahih apabila memenuhi prinsip-prinsip Hukum Ekonomi Islam tersebut. Bila kativitas ekonomi itu tidak memenuhi salah satu atau beberapa prinsip Hukum Ekonomi Islam, maka akan tergolong pada aktivitas ekonomi yang ghayr al-shahih, baik bathil atau fasad. Pemenuhan prinsip-prinsip itu dalam rangka menciptakan aktivitas ekonomi yang dapat menegakkan kebenaran, keadilan, kemurahan, dan kerelaan. Sehubungan dengan hal ini, maka dapat disimpulkan, prinsip Hukum Ekonomi Islam ini pada hakikatnya adalah menegakkan kebenaran (shidq), keadilan (‘adalah), kemurahan (samahah), dan kerelaan (taradhi), Wallahu a’lam.

 Sumber: 

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia


Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

Sejarah singkat hukum perdata yang berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa hokum perdata yang saat ini berlaku di Indonesia tidak lepas dari sejarah hukum perdata Eropa.
Bermula di benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku hokum perdata romawi, disamping adanya hokum tertulis dan hukum kebiasaan setempat. Diterimanya hukum perdata romawi peda waktu itu sebagai hukum asli dari Negara-negara di Eropa., oleh karena keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat ketidakpuasan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum, kesatuan hukum dan keseragaman hukum.

Pengertian dan Keadaan hukum perdata di Indonesia
            Yang dimaksud dengan hukum perdata ialah hokum yang mengatur hubungan antara perorangan didalam masyarakat.
            Perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
            Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama hukum perdata saja, untuk segenap peraturan hukum privat materiil (hukum perdata materiil)
            Dan pengertian dari hokum privat (hukum perdata materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan didalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain didalam suatu masyarakat tertentu.
            Disamping hukum privat materiil, juga dikenal hukum perdata formil yang lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek dilingkungan pengadilan perdata.
Didalam pengertian Sempit kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.  

Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
            Mengenai keadaan Hukum perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada dua faktor yaitu :
1.    Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum adat bangsa Indonesia, karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
2.    Faktor hoostia Yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S.yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu :
a)    Golongan Eropa dan yang di persamakan.
b)     Golongan Bumi Putera (Pribumi/ bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c)    Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).

Dan Pasal 131.I.S. yaitu mengatur hokum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas,

Adapun hokum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
a.   Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku hokum perdata dan hokum dagang barat yang diselaraskan dengan hokum perdata dan hokum dagang dinegeri belanda berdasarkan azas konkordansi.
b.   Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang di persamakan berlaku hokum adat mereka. Yaitu hokum yang sejak dahulu kala berlaku dikalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hokum adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
c.   Bagi golongan timur Asing (bangsa cina, India, Arab) berlaku hokum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hokum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hokum tertentu saja.

Maksudnya untuk segala golongan warga Negara berlainan satu dengan yang lain, dapat kita lihat :
a.   Untuk golongan bangsa Asli Indonesia
Berlaku hokum adat yaitu hokum yang sejak dahulu kala berlaku dikalangan rakyat, hokum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat mengenai segala hal didalam kehidupan kita dalam masyarakat.
b.   Untuk golongan warga Negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa
Berlaku kitab KUHP dan KUHD, dengan suatu pengertian bahwa bagi golongan tionghoa ada suatu penyimpangan, yaitu pada bagian 2 dan 3 dari TITEL IV dari buku I tentang :
-     Upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai penahanan pernikahan. Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa. Karena pada mereka diberlakukan khusus yaitu Burgerlijke Stand, dan peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi)

-  Referensi : Seri diktat kuliah Universitas Gunadarma ( Aspek Hukum dalam bisnis)


Selasa, 29 Mei 2012

Sistem Ekonomi Islam atau Syariah


Sistem Ekonomi Islam atau Syariah

Sistem Ekonomi Islam atau syariah sekarang ini sedang banyak diperbincangkan di Indonesia. Banyak kalangan masyarakat yang mendesak agar Pemerintah Indonesia segera mengimplementasikan sistem Ekonomi Islam dalam sistem Perekonomian Indonesia seiring dengan hancurnya sistem Ekonomi Kapitalisme.

Definisi Ekonomi Islam/Syariah menurut beberapa Ekonom Islam
  • Muhammad Abdul Mannan
"Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam".
  • M.M Metwally
"Ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari per4ilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al Quran,Hadits Nabi,Ijma dan Qiyas".
  • Hasanuzzaman
"Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat".

Sejarah tentang Sistem Ekonomi Islam / Syariah
Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relative sedikit semakin kaya.

 Dengan kata lain, kapitalis gagal meningkatkan harkat hidup orang banyak terutama di negara-negara berkembang. Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz (2006) kegagalan ekonomi Amerika dekade 90-an karena keserakahan kapitalisme ini. Ketidakberhasilan secara penuh dari sistem-sistem ekonomi yang ada disebabkan karena masing-masing sistem ekonomi mempunyai kelemahan atau kekurangan yang lebih besar dibandingkan dengan kelebihan masing-masing. Kelemahan atau kekurangan dari masing-masing sistem ekonomi tersebut lebih menonjol ketimbang kelebihannya.

Karena kelemahannya atau kekurangannya lebih menonjol daripada kebaikan itulah yang menyebabkan muncul pemikiran baru tentang sistem ekonomi terutama dikalangan negara-negara muslim atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu sistem ekonomi syariah. Negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim mencoba untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist, yaitu sistem ekonomi Syariah yang telah berhasil membawa umat muslim pada zaman Rasulullah meningkatkan perekonomian di Zazirah Arab. Dari pemikiran yang didasarkan pada Al-quran dan Hadist tersebut, saat ini sedang dikembangkan Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah di banyak negara Islam
Termasuk di Indonesia

Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Syariah bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara melimpah ruah di dunia, tetapi juga dapat memenuhi ketentraman jiwa sebagai bekal di akhirat nanti. Jadi harus ada keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia dengan kebutuhan untuk akhirat.

Tiga Prinsip Dasar Yang Menyangkut sistem ekonomi Syariah menurut Islam
  1. Tawhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
  2. Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
  3. ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need
    fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).

Empat Ciri/Sifat Sistem Islam
  1. Kesatuan (unity)
  2. Keseimbangan (equilibrium)
  3. Kebebasan (free will)
  4. Tanggungjawab (responsibility)

Kamis, 24 Mei 2012

Aspek Hukum Dalam Perbankan


ASPEK HUKUM DALAM PERBANKAN

Pengertian Bank
Bank atau Perbankan adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote.Kata Bank berasal dari bahasa Italia “Banca “ berarti tempat penukaran uang . Sedangkan menurut undang-undang perbankan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam undang-undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998 tersebut, terdapat sejumlah norma hukum, yang berfungsi sebagai dasar dalam membuat, mengatur dan menetapkan kabijakan dan ketentuan hukum perbankan, yang akan dilakukan, baik oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan perbankan dan menjadi kewajiban setiap pelaku bisnis perbankan untuk menaati norma hukum perbankan yang terdapat dalam Undang-Undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang no.10 tahun 1998. Norma hukum itu dimaksudkan untuk memeberikan landasan prevensi bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga kepentingan masyarakat maupun kelangsungan hidup bisnis perbankan nasional dapat terlindungi. Disamping itu, untuk mendidik dan sekaligus meningkatkan ketaatan pelaku bisnis perbankan nasional, maka dikembangkan  pula sistem self regulation dan moral suasion.
Norma hukum perbankan nasional ini cenderung menonjolkan sifat administrative, ketimbang mengatur hubungan keperdataan antara bank dan nasabahnya. Oleh karena itu hukum norma perbankan nasional lebih tepat jika dikualifikasikan sebagai norma hukum fungsional, yang tidak dapat lagi dikulifikasikan sebgai norma hukum privat atau norma hukum publik. Ciri norma hukum fungsional tersebut, meniadakan pembedaan antara norma hukum privat dan norma hukum public. Dimana kedua norma hukum ini saling bertaut atau bersinggungan. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran hukum privat menjadi hukum public.
Berdasarkan pengertian diatas, unsur-unsur yang terkandung di dalam hukum perbankan adalah :
  1. Serangkaian ketentuan hukum positif ( perbankan) adanya ketentuan perbankan dengan dikeluarkannya pelbagi peraturan perundang-undangan, baik berupa Undang-Undang peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, keputusan direksi dan surat edaran Bank Indonesia dan peraturan pelaksana lainnya. Semua peraturan perundang-undangan di bidang perbankan tersebut terangkai sebagai suatu system dengan diikat oleh asas hukum tertentu.
  2. Hukum positif (perbankan) tersebut bersumber ketentuan tertulis dan tidak tertulis. Ketentuan yang terulis adalah ketetnuan yang dibentuk badan pembentukan hukum dan perundang-undangan yang berwenang, baik berupa peraturan original (asli) maupun peraturan  derivative (turunan) sedangkan ketentuan yang tidak tertulis adalah ketentuan yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan operasional perbankan.
  3. Ketentuan hukum perbankan tadi mengatur ketatalaksanaan kelembagaab bank. Didalamnya diatur mengenai persyaratan pendirian bank, yang mencakup perizinan, bentuk hukum, kepengurusan dan kepemilikan bank. Juga mengatur bangun organisasi yang menunjang kegiatan usaha perbankan. Dimuat pula ketentuan pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia dan kerahasiaan bank.
  4. Ketentuan hukum perbankan tadi juga mengatur aspek-aspek kegiatan keusahaannya. Secara umum, fungsi bank adalah sebagai penghimpun dana masyarakat. Penghimpunan dana masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk simpanan. Kemudian dana dihimpun tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan keusahaan bank lainnya. Selain itu bank melakukan keusahaan pemberian jasa-jasa perbankan yang tidak termasuk dalam fungsi utamanya. Bahkan menurut undan-undang perbankan yang diubah, bank dapat pula melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank, sepanjang kegiatan itu tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kacamata hukum nasional, hukum perbankan telah berkembang menjadi hukum sektoral dan fungsional. Oleh karena itu hukum perbankan dalam kajiannya meniadakan pembedaan antara hukum public dan hukum privat. Sehingga bentang ruang lingkupnya sangat luas. Bentang ruang lingkup hukum perbangkan meliputi beberapa bidang hukum, seperti :
  •  Hukum administasi
  •  Hukum perdata
  •  Hukum dagang
  •  Hukum pidana
  •  Hukum internasional

Kejahatan Perbankan
Modus kejahatan perbankan bukan hanya soal penipuan (fraud), tetapi lemahnya pengawasan internal control bank terhadap sumber daya manusia juga menjadi titik celah kejahatan perbankan. Internal control menjadi masalah utama perbankan.